Oleh: Ach.Kurniawan
ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR WAL HAROKAH
Kepada para pemuda...
Yang merindukan kejayaan...
Kepada rakyat yang kebingungan...
Dipersimpangan jalan...
Kepada pewaris peradaban...
Yang telah menggoreskan...
Sebuah catatan kebanggaan...
Dilembar sejarah manusia... (Hasan Al-Banna)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Student Movement)
atau yang disingkat dengan PMII, merupakan organisasi yang mewadahi
mahasiswa NU yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan untuk
menjadi lebih baik. Lahirnya PMII bukanlah mulus jalannya, melainkan
banyak sekali hambatan dan rintangan. PMII lahir pada tanggal 17 April
1960, dengan di latar belakangi carut marutnya gejolak politik pada saat
itu yang menjadi salah satu penyebab lahirnya organisasi mahasiswa NU
ini. Disamping itu, PMII adalah organisasi yang berideologikan Ahlussunnah Wal Jama’ah
sebagai landasan atau pijakan kebenaran yang paling fundamental.
Sehingga, tak salah bila disebut sumber kebenaran sebagai ruh dan
operasi praksis kehidupan. Karena jika suatu organisasi yang tak
berideologi saya ibaratkan sebuah pohon yang tak berakar, yang nantinya
akan dengan mudah roboh ketika tertiup angin. Dalam ranah PMII, ideologi
PMII digali dari sumbernya yaitu ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur ini menjadi sebuah rumusan
materi yang terkandung dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan) PMII sebagai qonun azasi dalam PMII.
Ahlussunnah
Wal Jama’ah (ASWAJA) merupakan bagian integral dari sistem
keorganisasian NU. Dalam landasan organisasi disebutkan bahwa Aswaja
merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan tauhid. Lebih dari
itu, disadari atau tidak, Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari
setiap anggota/kader organisasi. Akarnya tertanam dalam pada pemahaman
dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam.
Selama
ini proses reformulasi Ahlussunnah Wal Jama’ah telah berjalan, bahkan
masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH. Said
Aqil Siraj muncul gagasan terhadap Aswaja yang sampai saat itu
diperlakukan sebagai sebuah madzhab. Padahal didalam Aswaja terdapat
berbagai madzhab. Khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan
muncul karena melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan
membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang
tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana
selama ini digunakan, lahirlah gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berfikir).
NU
melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan
zaman. Selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang
terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih
fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang
kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab
perkembangan zaman.
- Aswaja sebagai Manhajul Fikr
Didalam
PMII Aswaja dijadikan Manhajul Al-Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan
tujuan dalam beragama saja melainkan dijadikan metode dalam berfikir
untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba
mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai
sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevansinya
dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam membuka
ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan
Aswaja sebagai manhajul fikr pertama kali dimotori oleh Kang Said
(panggilan akrab Prf. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA) dalam sebuah forum
di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai
sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima
begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang
sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada.
Dalam perkembangannya, akhirnya rumus ini di ratifikasi menjadi konsep
dasar Aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhaj al-fikr
meliputi: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), ta’adul (adil) dan
tawazzun (seimbang).
Aktualisasi
dari prinsip yang Pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga
memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada
mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak
pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya
ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan
akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual)
dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang
kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada
bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan
keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang
diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialektikakan
keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada
otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari
prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri.
Dan
yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip
tawazun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu
yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting
karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi
di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang
tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau
bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama
sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa
yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan
segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling
bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi
dari sikap pengecut dan oportunis.
- Aswaja dari Manhajul Fikr ke Manhajul Harakah
Untuk
mensistematisir dan menyusun secara konsepsional dari fikroh ke harakah
maka basis argumentasinya harus melandaskan pada akar-akar historis
Nahdlatul Ulama dengan menyusun secara lebih sistematis dan konsepsional
gagasan-gagasan baru yang bersifat kritis, dan kontektual, diantaranya
adalah bagaimana upaya menggerakkan Trilogi NU yang pernal muncul dalam
sejarah ke-NU-an yaitu: Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathon dan Taswirul
afkar, menggerakkan wawasan strategis ke-Aswaja-an, tradisi nusantara,
Menggerakkan kaum mustadh’afin, Menggerakkan pribumisasi Islam dan
Menggerakkan semangat kebangsaan.
- Pertama, bahwa secara historis Aswaja adalah sebuah proses yang lahir bukan terus menjadi tetapi terus berkembang mengikuti dinamika zaman yang selalu berubah. Aswaja secara historis kelahirannya terbagi dalam dua fase, yaitu: sebagai sebuah ajaran dan pemikiran yang sudah lahir dari masa Rasulullah SAW. Hal ini dibuktikan dengan adanya hadits nabi yang menyebut kata “Ahlussunnah wal Jama’ah” sebagai golongan umat yang akan selamat dari 72 golongan yang akan masuk neraka. Tetapi secara pelembagaan, Aswaja mulai hadir pada masa muculnya perpecahan aliran-aliran ilmu kalam yang berujung pada “munculnya perumusan ilmu-ilmu fiqih”.
- Kedua, Aswaja dalam lingkup dan tradisi NU menjadi sebuah konsep “pelembagaan Aswaja” yang di dalamnya menyangkut rumusan fiqih, aqidah, dan rumusan tasawuf. Rumusan-rumusan ini membentuk “rumusan pemikiran dan gerakan”. Disebut pemikiran, karena NU dengan konsep Aswajanya mampu mengembangkan berbagai metodologi hukum-hukum syari’ah yang sebelumnya tidak ada. Sementara disebut sebagai gerakan, karena Aswaja selalu menjadi ruh pergerakan para ulama, dari mulai membuat gerakan ekonomi, gerakan politik, gerakan kebudayaan, gerakan keagamaan, gerakan pendidikan dan gerakan kebangsaan.
- Ketiga, dalam perjalanannya, Aswaja NU menjadi ruh dalam menuangkan gagasan-gagasan strategis, yang kemudian gagasan-gagasan ini juga diakui dan diakomodir sebagai agenda pembangunan nasional, seperti dengan adanya gagasan kembali ke Khittah Nahdliyah 1926, NU berhasil membangun kemandirian organisasi, NU berhasil menjaga stabilitas pembangunan, dan NU berhasil menjadi garda terdepan dalam menyebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin melalui gerakan Islam damai, dan Islam kebangsaan. Dengan konsep pribumisasi Islam, NU telah menghadirkan dirinya menjadi kekuatan tradisional yang progressif, transformatif, kritis dan konstruktif. Dan pada akhirnya NU menjadi pelopor bagi terbentuknya “Islam Indonesia” dan menjadikannya sebagai model bagi pengembangan Islam di negara-negara muslim lainnya di dunia,
- Keempat, dalam perkembanganya, ASWAJA harus mampu menjadi garda terdepan dalam menggerakkan sendi-sendi kebangsaan. Semuanya demi kemaslahatan, kemajuan bangsa dan kejayaan Islam. Dalam tataran ini Aswaja harus memiliki kemampuan untuk menyusun wawasan strategis ke-Aswaja-an yang meliputi: bagaimana tradisi ke-nusantara-an, bagaimana menggerakkan kaum mustadz’afin, bagaimana menggerakkan pribumisasi Islam, dan bagaimana menggerakkan solidaritas kebangsaan.
Dengan
adanya transisi Aswaja dari madzhab menjadi Manhaj Al-Fikri sebenarnya
memberikan udara segar bagi kita mengapa? Karena dengan demikian
nantinya kita akan dapat menghasilkan pandangan-pandangan yang tentu
relevan dengan keadaan yang sedang kita alami pada masa sekarang, bukan
hanya itu hal ini membuka pintu kreativitas umat. Tapi perlu kita sadari
dengan adanya transisi ini, kita dituntut untuk lebih giat, termotivasi
dalam usaha kita tafaquh fi al-din, agar nantinya apa yang kita
hasilkan benar-benar membawa kemashlahatan bagi umat.
- NILAI-NILAI ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI EKSTREM
Dalam
sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu
Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang
ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah
kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir
tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Aswaja dengan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun,
ta’adul dan tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter
lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel
tersebut barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh
mayoritas umat Islam di Indonesia.
“meskipun tidak ada jalan, lalui saja...!!! karena suatu saat kalian pasti akan menemukan jalan walau hanya seujung tombak. Karena keberhasilan diperuntukkan bagi dia yang siap menerimanya” (Ach.Kurniawan)
thanks bang
BalasHapusIya sama sama semoga bermanfaat
HapusIya sama sama semoga bermanfaat
Hapus