ABSTRAKSI
Akal
dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi agama-agama lain. Karena akal dan wahyu adalah suatu
yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk
mencapai derajat ketaqwaan kepada Sang Kholiq, akalpun harus dibina dengan
ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi
dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda Rasulullah SAW. Tidak
hanaya itu dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang
Allah amanahkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan
wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian Allah yang sangat luar biasa untuk
membimbing manusia pada jalan yang lurus.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Di dalam ajaran agama yang
diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu
dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua, melalui jalan akal,
yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang
diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada
kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut
dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat
relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Allah telah menciptakan manusia
dengan banyak hidayah dan anugerah, beberapa di antaranya yang menjadi pembeda
antara manusia dengan makhluk lainnya adalah akal dan wahyu dimana hanya
manusialah yang memiliki hal tersebut, berbeda dengan hewan yang hanya memiliki
nafsu saja. Jika manusia menerima wahyu tersebut maka ia akan mendapatkan
bimbingan untuk akal atau rasionya yang terkadang ragu-ragu dan mengalami
kekacauan.
Islam juga menantang akal manusia
agar mendatangkan kitab semisal Al-Qur’an. Diharapkan dengan ketidak kemampuan
akal mendatangkan kitab semisal Al-Qur’an, manusia mau mengakui bahwa Al-Qur’an
benar-benar datang dari sisi Allah SWT. Oleh karena itu, timbullah permasalahan-permasalahan dari adanya dua sumber
pengetahuan yang berlainan sifat ini. Pengetahuan mana yang lebih dapat
dipercaya, pengetahuan melalui akal atau pengetahuan melalui wahyu?. Untuk memecahkan masalah tersebut, dalam makalah ini saya akan mencoba
menguraikannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. WAHYU
a. Pengertian
Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahyu adalah kata asli arab dan bukan pinjaman dari
bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan ketika
Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat.[1] Oleh sebab itu, wahyu sering disebut sebuah
pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa
seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul, wahyu Allah
terhadap Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada
Nabi.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu
adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri
disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui
perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam
telinga ataupun lainnya. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan
kepada Nabi Muhaammad SAW terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.[2]
b.
Fungsi Wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang
dimaksud memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana
cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik
dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di
terima manusia kelak di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata
yang diberikan Allah kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya
dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaannya. Dan sebagai bukti
bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
c.
Kekuatan Wahyu
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki
kekuatan, tetapi kita tidak akan mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karena
itu wahyu diyakini memiliki kekuatan karena beberapa faktor, antara lain:
1.
Wahyu ada karena ijin dari
Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2.
Wahyu lebih condong
melalui dua mu’jizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3.
Wahyu yang membuat
suatu keyakinan pada diri manusia.
4.
Untuk memberi keyakinan
yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
B. AKAL
a.
Pengertian Akal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql
(العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy
(الوحى), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa
bentuk kata kerjanya ‘aqaluh (عقلوه) dalam 1 ayat, ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala
berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban, terkadang berwarna
hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dll, disebut ‘iqal
(عقال), dan menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala (اعتقل) dan tempat tahanan mu’taqal (معتقل).[3]
Akal secara lughawi memiliki banyak makna,
sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak,
yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab Al-munjid Fii
Al-lughah Wa’al A’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka
(mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara
(merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga
memiliki arti “nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi
al-hawas”, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai,
mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani
atau hati sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman
jahiliyah
digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence), yang dalam istilah
psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving
capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan
untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat
melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata
‘aql mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal
ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang masuk dalam
pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql sama dengan Nous
yang mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman
dan pemikiran tidak lagi melalui
di dada (Al-qalb) akan tetapi melalui Al-‘aql di kepala.[4]
Menurut Imam
Al-ghazali didalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin mendefinisikan bahwa akal
adalah sumber ilmu, tempat terbit dan dasar ilmu. Ilmu itu berjalan dari
padanya seperti jalannya buah dari pohon, cahaya dari matahari, dan penglihatan
dari mata.[5]
b. Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
3. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah
sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan
dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal
yang akan dikerjakan tersebut. Dan Akal adalah jalan untuk
memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman
harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akal lah yang menjadi
sumber keyakinan pada tuhan.
c.
Kekuatan Akal
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti,
seperti contoh:
1.
Mengetahui tuhan dan
sifat-sifatnya.
2.
Mengetahui adanya hidup
akhirat.
3.
Mengetahui bahwa
kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik,
sedang kesengsaraan tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
4.
Mengetahui wajibnya
manusia mengenal Tuhan.
5.
Mengetahui wajibnya
manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6.
Membuat hukum-hukum
mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Ketahuilah bahwa manusia itu berbeda-beda dalam memberi batasan (definisi)
akal dan hakikatnya. Kebanyakan manusia lupa tentang keadaan nama ini
dipergunakan untuk menyebut terhadap beberapa makna yang berbeda-beda. Maka hal
itu menjadi sebab perbedaan pendapat dikalangan mereka. Apa yang berjalan
dengan jalan ini, maka tidak tidak seyogyanya untuk menuntut seluruh bagiannya
dengan satu batasan. Namun, setiap bagian dibuka/disingkap dengan sendiri.
a.
Sifat yang membedakan antara manusia dengan
binatang.
b.
Ilmu-ilmu yang keluar kepada wujud dalam diri
anak kecil yang mumayyiz (sudah dapat membedakan) terhadap bolehnya
(mungkinnya) barang-barang yang mungkin dan kemustahilannya barang-barang yang
mustahil.
c.
Ilmu-ilmu yang diperoleh dengan pengalaman
dengan berjalannya keadaan-keadaan.
d.
Kekuatan naluri itu berakhir sampai mengetahui
kesudahan berbagai urusan dan menahan syahwat (keinginan) yang segera dan
memaksanya.
C. HUBUNGAN ANTARA WAHYU DAN AKAL
Teologi
sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang
kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia,
berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai
pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan
tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Konsepsi ini
dapat digambarkan bahwa Tuhan berdiri dipuncak alam wujud dan manusia di
kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan. Dan Tuhan sendiri
dengan belas kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan dengan
kemahakuasaan Tuhan. Menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui para Nabi
dan para Rasul.
Konsepsi
ini merupakan system teologi yang dapat digunakan terhadap aliran-aliran
teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia biasa sampai kepada Tuhan.[7] Yang menjadi
persoalan selanjutnya ialah: “sampai di manakah kemampuan akal manusia dalam
mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia?” Dan juga “sampai manakah
besarnya fungsi wahyu dalam kedua hal ini?’’.
Kalau kita selidiki
buku-buku klasik tentang Ilmu Kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan
akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang
masing-masing bercabang dua. Masalah pertama adalah soal mengetahui Tuhan dan
masalah yang kedua soal baik dan jahat. Masalah yang pertama bercabang dua
menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah
‘Arab disebut husul ma’rifah Allah dan
wujud ma’rifah Allah.[8] Cabang dari masalah yang kedua ialah: mengetahui
baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi
perbuatan jahat atau ma’rifah al-husn wa
al-qubh dan wujub I’tinaq al-hasan wa
iljinab al-qabih, yang disebut al-tahsin
wa al-taqbih.
Jika kamu bertanya : “Bagaimanakah keadaan
kaum-kaum dari ahli tasawwuf yang mencela akal dan apa yang digarap akal?”.
Maka ketahuilah bahwa sebabnya adalah manusia itu memindahkan nama akal dan apa
yang digarap oleh akal kepada sebuah perdebatan dan mendiskusikan
pertentangan-pertentangan dan hal-hal yang pasti (lazim), yaitu perbuatan Ilmu
Kalam. Mereka tidak mampu untuk menetapkan di sisi mereka bahwa kamu sekalian
salah dalam pemberian nama itu karena hal itu tidak terhapus dari hati mereka
setelah penguasaan lidah, dan meresap di dalam hati. Lalu mereka mencela akal
dan apa yang di garap oleh akal. Yaitu lah akal yang disebut dari sisi mereka.[9]
Kita ketahui Ibnu
Taymiyyah hidup saat imperium Islam di Timur Tengah dan sekitarnya mengalami
krisis multidimensi. Serangan kaum Salib ancaman tentara Tatar, perang saudara
dan konflik antar madzhab serta maraknya aliran-aliran sesat, jelas banyak
mempengaruhi pemikiran dan perjalanan hidup beliau. Ibnu Taymiyyah berusaha
menerobos melawan arus. Tecermin dalam karya-karyanya seperti Al-Furqan Bayna Awliya’ar-Rahman Wa Awliya’
as-Syaythan (Perbedaan antara wali Tuhan dan wali setan), Ibnu Taymiyyah
mengecam keras sakralisasi madzhab dan pengkudusan tokoh. Ia juga menolak
dikotomi yang mempertentangkan akal dengan wahyu atau menceraikan politik dari
agama.[10]
Kedudukan wahyu terhadap akal
manusia adalah seperti cahaya terhadap indera penglihatan manusia. Karena wahyu
itu akan difungsikan bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai
alat untuk memahami Islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar
hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidak boleh
menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu. Oleh karena itulah,
Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di
dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia
melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 1-2:
Artinya: “Alif Laam Miim, Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa”(QS. Al-Baqarah: 1-2).
Keadaan akal dapat mengetahui adanya
Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara tepatnya
untuk menyatakan terima kasih itu. Digambarkan oleh Ibn Tufail dalam cerita Hayy Ibn Yaqzan. Hayy, sungguhpun
semenjak kecil tinggal sendirian disuatu pulau yang terpencil, dengan kkuatan
akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan, bahkan ia dapat sampai ke tingkat
persatuan akalnya dengan Al-‘aql al-Fa’al
atau Active Intellect. Jadi,
ketika Asal, seorang ulama’ dari pulau lain, pindah ke pulau terpencil itu dan
menjelaskan kepada Hayy tentang syari’at yang diwahyukan Tuhan kepada manusia.
Hayy dapat mengerti dan menerima ajaran-ajaran itu. Tetapi Hayy tidak tahu cara
sebenarnya menyembah Tuhan, dan Asal lah yang menerangkan kepadanya shalat, zakat,
puasa dan naik haji ke Mekkah. Hayy Ibn Yaqzan dalam cerita ini menggambarkan
akal sedangkan Asal menggambarkan wahyu.[11]
Meletakkan akal dan wahyu secara
fungsional akan lebih tepat dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga
akal memiliki fungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat
dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk
memahami dan menjabarkan secara praktis. Manusia diciptakan oleh tuhan dengan
tujuan yang jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan untuk
mencapai tujuan tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.
Karena Masalah akal dan
wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah
diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia
tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang
apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan
menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat
sendiri-sendiri antara lain:[12]
1. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh
dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam.
2. Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan
wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib, karena akal tidak
membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu sebaliknya, tidak pula
mewujudkan pengetahuan melainkan wahyu membawa kewajiban-kewajiban. Al-Ghazali
juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia,
tetapi kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian, kewajiban
mengetahui tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat
diketahui dengan perantaraan wahyu.
3. Aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam
tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui
tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan
dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban
melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui
dengan wahyu.
4. Aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam
tradisional, mengatakan bahwa akal dapat sampai tidak hanya kepada pengetahuan
adanya Tuhan dan sifat terpuji-Nya tetapi kewajiban mengetahui Tuhan. Tetapi
akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi
kejahatan.
Dalam menangani hal tersebut, banyak beberapa tokoh
dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal.
Seperti Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya
sebagai kemunduran umat Islam dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan
adalah suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat islam yang dinilai
dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat islam karena kurang
mengoptimalkan potensi akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution agama dan
wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan
memahami agama tersebut.
Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan
daya terbesar pada akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang
mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang
memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia
dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah,
dipandang berkuasa dan merdeka. Sedangkan manusia dalam aliran Asy’ariah
dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Didalam aliran Maturidiah, manusia
mempunyai kedudukan menengah diantara manusia dalam pandangan Mu’tazilah dan
manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam pandangan aliran Maturidiah cabang
Samarkand lebih berkuasa dan merdeka daripada manusia dalam pandangan cabang
Bukhara.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Demikianlah hubungan akal dan wahyu yang kami bahas
dalam pandangan aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand ataupun
Maturidiyah Bukhara. Mereka semua aliran mempunyai pendapat masing-masing dalam
memberikan pendapat tentang hubungan akal dan wahyu, dan apabila banyak
kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas
kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian kami ini. Lalu kami dapat
menarik benang merah dari kajian ini yaitu :
1.
Wahyu mempunyai kedudukan yang
sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah dan mempunyai fungsi kecil pada aliran
mu’tazilah.
2.
Mu’tazilah adalah paham yang
beraliran rasional artinya lebih menguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.
3.
Asy’ariah menjadikan wahyu mempunyai
kedudukan penting dalam alirannya dibanding akal.
4.
Maturidiah Bukhara bahwa wahyu dan
akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu
dan akal adalah seimbang.
5.
Maturidiah Samarkand bahwa akal
lebih tinggi dibanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat
aliran Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal.
Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar pada
akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan
kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan daya terkecil kepada
akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia dipandang lemah dan tidak
merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan
merdeka. Sedangkan manusia dalam aliran Asy’ariah dipandang lemah dan jauh
kurang merdeka. Didalam aliran Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan menengah
diantara manusia dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan
Asy’ariah. Dalam pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand lebih berkuasa
dan merdeka daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.
B.
SARAN
Islam adalah agama yang universal
dan sangat mutlak benar karena datangnya dari Alloh melalui perantarannya yaitu
para nabi dan rasul. Oleh sebab itu setiap persoalan yang masih berupa issue
atau kabar yang masih belum jelas dasarnya, hendaknya dikaji juga dalam bidang
keislaman (Al-Qur’an). Karena pada dasarnya dalam al-Qur’an terdapat segala ilmu
yang di butuhkan oleh manusia untuk menjawab semua persoalan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Teologi Islam
(Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan), Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press), 1986.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam
Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986. Mengutip
dari Baca Buku Online.
Arif, Dr. Syamsuddin, Orientalis dan
Diabolisme Pemikiran, Depok: Gema Insani, 2008.
Ghozali, Imam, Ihya’ ‘Ulumudin Juz 1 (terj.
Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs. H.
Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990.
[4] Harun Nasution, Akal
Dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press) Hal, 7-8.
[5] Imam Ghozali., Ihya’
‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’
Ulumuddin oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa', 1990), Hal.
262.
[6] Imam Ghozali., Ihya’
‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ ‘Ulumuddin
Jilid 1 oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa',
1990), Hal. 271-273.
[7] Harun Nasution, Teologi
Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal.
81
[8] Harun Nasution, Teologi
Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal.
82. Mengutip dari Al-Syahrastani, kitab Nihayah
Al-Iqdam Fii ‘Ilm Al-kalam, London: 1934, Hal. 371.
[9] Imam Ghozali., Ihya’
‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ 'Ulumuddin
Jilid 1 oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa',
1990), Hal. 285.
[10]Dr. Syamsuddin
Arif, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran, Depok: Gema Insani, Hal. 168
[11] Harun Nasution, Teologi
Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 97.
[12] Harun Nasution, Teologi
Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 82-95.
[13] Harun Nasution, Teologi
Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar