Rabu, 08 Februari 2017

MAKALAH ILMU KALAM "Hubungan antara akal dan wahyu"



ABSTRAKSI

Akal dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi agama-agama lain. Karena akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada Sang Kholiq, akalpun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda Rasulullah SAW. Tidak hanaya itu  dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang Allah amanahkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian Allah yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.


BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Di dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua, melalui jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Allah telah menciptakan manusia dengan banyak hidayah dan anugerah, beberapa di antaranya yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya adalah akal dan wahyu dimana hanya manusialah yang memiliki hal tersebut, berbeda dengan hewan yang hanya memiliki nafsu saja. Jika manusia menerima wahyu tersebut maka ia akan mendapatkan bimbingan untuk akal atau rasionya yang terkadang ragu-ragu dan mengalami kekacauan.
Islam juga menantang akal manusia agar mendatangkan kitab semisal Al-Qur’an. Diharapkan dengan ketidak kemampuan akal mendatangkan kitab semisal Al-Qur’an, manusia mau mengakui bahwa Al-Qur’an benar-benar datang dari sisi Allah SWT. Oleh karena itu, timbullah permasalahan-permasalahan dari adanya dua sumber pengetahuan yang berlainan sifat ini. Pengetahuan mana yang lebih dapat dipercaya, pengetahuan melalui akal atau pengetahuan melalui wahyu?. Untuk memecahkan masalah tersebut, dalam makalah ini saya akan mencoba menguraikannya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  WAHYU
a.    Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahyu adalah kata asli arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat.[1] Oleh sebab itu, wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul, wahyu Allah terhadap Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainnya. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhaammad SAW terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.[2]
b.    Fungsi Wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia kelak di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaannya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
c.    Kekuatan Wahyu
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak akan mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karena itu wahyu diyakini memiliki kekuatan karena beberapa faktor, antara lain:
1.      Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2.      Wahyu lebih condong melalui dua mu’jizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3.      Wahyu yang membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
4.      Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.

B.  AKAL
a.    Pengertian Akal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحى), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh (عقلوه) dalam 1 ayat, ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala  berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban, terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dll, disebut ‘iqal (عقال), dan menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala (اعتقل) dan tempat tahanan mu’taqal (معتقل).[3]
Akal secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab Al-munjid Fii Al-lughah Wa’al A’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti “nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas”, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.  Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyah digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence), yang dalam istilah psikologi modern disebut  kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql  mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani  yang masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql  sama dengan Nous yang mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui di dada (Al-qalb) akan tetapi melalui Al-aql di kepala.[4]
Menurut Imam Al-ghazali didalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin mendefinisikan bahwa akal adalah sumber ilmu, tempat terbit dan dasar ilmu. Ilmu itu berjalan dari padanya seperti jalannya buah dari pohon, cahaya dari matahari, dan penglihatan dari mata.[5]
b.    Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1.      Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2.      Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
3.      Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan  Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akal lah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
c.    Kekuatan Akal
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti contoh:
1.      Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
2.      Mengetahui adanya hidup akhirat.
3.      Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
4.      Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5.      Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6.      Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
d.   Hakikat Akal dan Bagian-bagiannya[6]
Ketahuilah bahwa manusia itu berbeda-beda dalam memberi batasan (definisi) akal dan hakikatnya. Kebanyakan manusia lupa tentang keadaan nama ini dipergunakan untuk menyebut terhadap beberapa makna yang berbeda-beda. Maka hal itu menjadi sebab perbedaan pendapat dikalangan mereka. Apa yang berjalan dengan jalan ini, maka tidak tidak seyogyanya untuk menuntut seluruh bagiannya dengan satu batasan. Namun, setiap bagian dibuka/disingkap dengan sendiri.
a.       Sifat yang membedakan antara manusia dengan binatang.
b.      Ilmu-ilmu yang keluar kepada wujud dalam diri anak kecil yang mumayyiz (sudah dapat membedakan) terhadap bolehnya (mungkinnya) barang-barang yang mungkin dan kemustahilannya barang-barang yang mustahil.
c.       Ilmu-ilmu yang diperoleh dengan pengalaman dengan berjalannya keadaan-keadaan.
d.      Kekuatan naluri itu berakhir sampai mengetahui kesudahan berbagai urusan dan menahan syahwat (keinginan) yang segera dan memaksanya.

C.    HUBUNGAN ANTARA WAHYU DAN AKAL
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Konsepsi ini dapat digambarkan bahwa Tuhan berdiri dipuncak alam wujud dan manusia di kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan. Dan Tuhan sendiri dengan belas kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan. Menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui para Nabi dan para Rasul.
Konsepsi ini merupakan system teologi yang dapat digunakan terhadap aliran-aliran teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia biasa sampai kepada Tuhan.[7] Yang menjadi persoalan selanjutnya ialah: “sampai di manakah kemampuan akal manusia dalam mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia?” Dan juga “sampai manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua hal ini?’’.
Jika kamu bertanya : “Bagaimanakah keadaan kaum-kaum dari ahli tasawwuf yang mencela akal dan apa yang digarap akal?”. Maka ketahuilah bahwa sebabnya adalah manusia itu memindahkan nama akal dan apa yang digarap oleh akal kepada sebuah perdebatan dan mendiskusikan pertentangan-pertentangan dan hal-hal yang pasti (lazim), yaitu perbuatan Ilmu Kalam. Mereka tidak mampu untuk menetapkan di sisi mereka bahwa kamu sekalian salah dalam pemberian nama itu karena hal itu tidak terhapus dari hati mereka setelah penguasaan lidah, dan meresap di dalam hati. Lalu mereka mencela akal dan apa yang di garap oleh akal. Yaitu lah akal yang disebut dari sisi mereka.[9]
Kita ketahui Ibnu Taymiyyah hidup saat imperium Islam di Timur Tengah dan sekitarnya mengalami krisis multidimensi. Serangan kaum Salib ancaman tentara Tatar, perang saudara dan konflik antar madzhab serta maraknya aliran-aliran sesat, jelas banyak mempengaruhi pemikiran dan perjalanan hidup beliau. Ibnu Taymiyyah berusaha menerobos melawan arus. Tecermin dalam karya-karyanya seperti Al-Furqan Bayna Awliya’ar-Rahman Wa Awliya’ as-Syaythan (Perbedaan antara wali Tuhan dan wali setan), Ibnu Taymiyyah mengecam keras sakralisasi madzhab dan pengkudusan tokoh. Ia juga menolak dikotomi yang mempertentangkan akal dengan wahyu atau menceraikan politik dari agama.[10]
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera penglihatan manusia. Karena wahyu itu akan difungsikan bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami Islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidak boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu. Oleh karena itulah, Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 1-2:
Artinya: “Alif Laam Miim, Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”(QS. Al-Baqarah: 1-2).
Keadaan akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara tepatnya untuk menyatakan terima kasih itu. Digambarkan oleh Ibn Tufail dalam cerita Hayy Ibn Yaqzan. Hayy, sungguhpun semenjak kecil tinggal sendirian disuatu pulau yang terpencil, dengan kkuatan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan, bahkan ia dapat sampai ke tingkat persatuan akalnya dengan Al-‘aql al-Fa’al atau Active Intellect. Jadi, ketika Asal, seorang ulama’ dari pulau lain, pindah ke pulau terpencil itu dan menjelaskan kepada Hayy tentang syari’at yang diwahyukan Tuhan kepada manusia. Hayy dapat mengerti dan menerima ajaran-ajaran itu. Tetapi Hayy tidak tahu cara sebenarnya menyembah Tuhan, dan Asal lah yang menerangkan kepadanya shalat, zakat, puasa dan naik haji ke Mekkah. Hayy Ibn Yaqzan dalam cerita ini menggambarkan akal sedangkan Asal menggambarkan wahyu.[11]
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk memahami dan menjabarkan secara praktis. Manusia diciptakan oleh tuhan dengan tujuan yang jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan untuk mencapai tujuan tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.
Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara lain:[12]
1.      Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
2.      Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu sebaliknya, tidak pula mewujudkan pengetahuan melainkan wahyu membawa kewajiban-kewajiban. Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, tetapi kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian, kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.
3.      Aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
4.      Aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan bahwa akal dapat sampai tidak hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpuji-Nya tetapi kewajiban mengetahui Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi kejahatan.
Dalam menangani hal tersebut, banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal. Seperti  Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran umat Islam dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat islam karena kurang mengoptimalkan  potensi akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut.
Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar pada akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka. Sedangkan manusia dalam aliran Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Didalam aliran Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.[13]


BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Demikianlah hubungan akal dan wahyu yang kami bahas dalam pandangan aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand ataupun Maturidiyah Bukhara. Mereka semua aliran mempunyai pendapat masing-masing dalam memberikan pendapat tentang hubungan akal dan wahyu, dan apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian kami ini. Lalu kami dapat menarik benang merah dari kajian ini yaitu :
1.      Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah dan mempunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.
2.      Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional artinya lebih menguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.
3.      Asy’ariah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam alirannya dibanding akal.
4.      Maturidiah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
5.      Maturidiah Samarkand bahwa akal lebih tinggi dibanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal.
Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar pada akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka. Sedangkan manusia dalam aliran Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Didalam aliran Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.
B.  SARAN
Islam adalah agama yang universal dan sangat mutlak benar karena datangnya dari Alloh melalui perantarannya yaitu para nabi dan rasul. Oleh sebab itu setiap persoalan yang masih berupa issue atau kabar yang masih belum jelas dasarnya, hendaknya dikaji juga dalam bidang keislaman (Al-Qur’an). Karena pada dasarnya dalam al-Qur’an terdapat segala ilmu yang di butuhkan oleh manusia untuk menjawab semua persoalan.


DAFTAR PUSTAKA


Nasution, Harun, Teologi Islam (Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986. Mengutip dari Baca Buku Online.
Arif, Dr. Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Depok: Gema Insani, 2008.
Ghozali, Imam, Ihya’ ‘Ulumudin Juz 1 (terj. Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990.


[1] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press), Hal. 14.
[2] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press), Hal. 15
[3] Harun Nasution., Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI-Pres), hal. 5.
[4] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press) Hal, 7-8.
[5] Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ Ulumuddin oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa', 1990), Hal. 262.
[6] Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa', 1990), Hal. 271-273.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 81
[8] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 82. Mengutip dari Al-Syahrastani, kitab Nihayah Al-Iqdam Fii ‘Ilm Al-kalam, London: 1934, Hal. 371.
[9] Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ 'Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa', 1990), Hal. 285.
[10]Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Depok: Gema Insani, Hal. 168
[11] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 97.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 82-95.
[13] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan Seorang Mahasiswa Veteran

Catatan Seorang Mahasiswa Veteran Untuk memahami dunia dengan cara berbeda, kita harus bersedia untuk mengubah sistem keyakinan kita, m...