Sabtu, 29 Desember 2018

Pendidikan Pembebasan Paulo Freire

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Teori pendidikan Islam secara komprehensif dan saling melengkapi dari kalangan ahli pendidikan muslim tidak akan dapat ditemukan. Secara “Induktif”, hanya ditemukan teori-teori yang mirip yang tersebar dalam ragam karya tulis dan risalah para ahli. Banyak faktor penyebab tidak adanya teori pendidikan secara komprehensif. Salah satunya adalah terjadinya polarisasi pemikiran pendidikan antara bersifat rasionalis-filosofis dengan yang bersifat agamis-murni. Bila dicermati risalah-risalah pendidikan yang ditulis oleh Al-Ghozali, Al-Qhabisi, Ibnu Sahnun, Ibnu Jama’ah, Ibnu Hajar Al-Haitami dan Nashiruddin At-Thusi, maka akan tampak oreintasi murni keagamaan dalam pendidikan mereka. Dari sini pendidikan bagi mereka mengandung pengertian ta’dib (moralisasi).
Sebagian besar risalah-risalah pendidikan Islam diorientasikan untuk penuntut ilmu/subjek didik tingkat lanjut. Namun demikian, adanya kegagalan dalam membangun teori pendidikan yang komprehensif, mengacu pada gagasan Plato di Republics misalnya, tidak sepantasnya membawa kita berharap terlalu banyak pada tokoh-tokoh pemikiran pendidikan Islam sebagaimana harapan pada diri kita sendiri secara analitik-ilmiah dalam pemikiran pendidikan. Sebab bila demikian sama halnya dengan menjatuhkan beban berlebihan di atas pundak mereka. Kewajiban kita adalah melihat pemikiran pendidikan mereka dengan perspektif masa mereka hidup dan mengeksplorasi intelektualnya hingga mengahsilkan buah pemikiran sebaik mungkin.
Dengan demikian kita akan mampu memetik serangkaian prinsip-prinsip utama pendidikan yang tersebar dalam beberapa risalah dan karya tulis mereka, lalu menatanya dalam konstruksi yang utuh sehingga membentuk teori pendidikan yang komprehensif.
Dari sinilah, kami mencoba membuat sebuah terobosan baru mengenai konsep pendidikan Islam yang modern dan inovatif yang mengambil dari pemikiran Paulo Freire. Dalam isi konsep pendidikan ini, peserta didik di harapkan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya serta sesuai dengan karakter peserta didik, sehingga dalam pembentukan karakter ini dapat menghasilkan peserta didik yang kompeten dan mampu mengembangkan dirinya dan siap untuk menghadapi berkembangnya zaman yang semakin maju dan nantinya mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap agama, bangsa dan negara.
1.2  Rumusan masalah
1.      Seperti apakah problematika pendidikan Islam?
2.      Bagaimana konsep pengajaran/pembelajaran menurut para ahli?
3.      Apa hakikat dan model-model pendidikan pembebasan karakter?
4.      Seperti apakah pendidikan Islam berbasis pembebasan karakter menurut Paulo Freire dan pemikirannya?
5.      Bagaimana Pendidikan Islam sebagai paradigma pendidikan pembebasan karakter?
1.3  Tujuan Pembahasan
1.      Agar mahasiswa mengetahui problematika pendidikan Islam.
2.      Agar dapat mengetahui konsep dari pengajaran/pembelajaran menurut para ahli.
3.      Agar mengetahui hakikat dan model-model pendidikan berbasis pembebasan karakter.
4.      Agar mahasiswa dapat memvisualisasikan bentuk pendidikan Islam berbasis pembebasan karakter menurut teori Paulo Freire beserta pemikirannya.
5.      Agar dapat mengetahui pendidikan Islam sebagai paradigma pendidikan berbasis karakter.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Problematika Pendidikan Islam
Dalam menangani berbagai pembelajaran khususnya dalam pendidikan Islam, yang membutuhkan banyak inovasi-inovasi modern untuk menunjang pembelajaran agar lebih menarik dan dapat menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pengajaran yang tidak membosankan. Konsep inovasi modern tercipta melalui banyaknya problematika yang terjadi dipembelajaran pada peserta didik saat ini.
Istilah problema/ problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan.[1] Sedangkan yang lain menyatakan bahwa problematika-problematika merupakan suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika adalah berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, baik yang datang dari individu guru maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat Islami secara langsung dalam masyarakat.
2.2  Konsep Pengajaran/Pembelajaran menurut Para Ahli
Para ahli pendidikan Muslim menyadari sepenuhnya bahwa suatu pengajaran/pembelajaran merupakan hal yang sangat unik dan kompleks, sebagaimana profesi-profesi lain, yang menuntut dimilikinya persyaratan-persyaratan tertentu oleh orang yang menekuninya. Ibnu Khaldun berkata “Sesungguhnya pengajaran itu merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan kecermatan, karena ia sama halnya dengan pelatihan kecakapan yang memerlukan kiat, strategi dan ketelatenan, sehingga menjadi cakap dan profesional”.[2]
Kecenderungan pendidik memahami kenyataan yang sebenarnya dari proses pengajaran, mengarahkan pada perenungan tentang peran bahasa dalam proses ini dan menyadarkan pendidik akan arti penting bahasa sebagai instrumen utama pendidikan, karena bahasa mentransmisikan kata-kata yang mengandung arti ke rasio subjek didik yang terkadang menyusahkan proses belajar. Ibnu Khaldun menganggap bahasa sama halnya dengan tirai yang menutupi realitas kebenaran dari rasio dan menuntut subjek didik agar serius berusaha melampaui ide-ide pemikiran sebelum tekun konsentrasi belajar. Ibnu Khaldun mengingatkan para subjek didik dan guru terhadap empat hal yang mencirikan kata-kata, yaitu:[3]
1.      Relasi makna antara bahasa tulis dengan bahasa lisan/ucap.
2.      Relasi makna antara bahasa ucap dengan arti yang di kehendaki.
3.      Tata aturan dalam susunan makna untuk bisa menunjukkan maksud tertentu berangkat dari struktur baku sebagaimana pada tata logika.
4.      Makna-makna substantif yang dihasilkan dari relasi dalam struktur bahasa.
Secara umum patut kita cermati bahwasannya pergumulan intens dengan profesi pengajaran, telah mengantarkan para pemikir muslim pada penolakan warisan sebagai prinsip dasar pembelajaran. Ibnu Miskawih mengatakan “Akhlak manusia sama sekali bukan hal alamiah, dan juga bukan tidak alamiah, namun ia bisa dibentuk dengan ta’dib (moralisasi), baik cepat atau lambat. Inilah pendapat yang saya anggap benar, karena sudah saya buktikan secara empiris”.
2.3  Hakikat dan Model-Model Pendidikan Islam Berbasis Pembebasan Karakter
a.      Hakikat Pendidikan
Dalam pembahasan mengenai pendidikan pembebasan, ada dua titik focus utama, yaitu pendidikan pembebasan dalam konteks umum (barat) dan pendidikan pembebasan dalam konteks khusus (timur). Terdapat dua kata utama dalam pendidikan pembebasan yaitu kata pendidikan dan pembebasan .dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kukuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,dan Negara. Dengan kata lain pendidikan haruslah dilakukan secara sadar. Sebab dengan kesadaranya manusia dapat belajar dan melakukan perubahan secara optrimal.
Sedangkan pembebasan itu sendiri menurut Paulo freire berarti ketidak paksaan. Maka, dengan ungkapan lain pembebasan itu berasal dari kata dasar “bebas”, yang berarti adalah merdeka. Artinya tidak terbelenggu dalam kegelapan atau kemunduran yang menimpa suatu individu yang dalam hal ini adalah manusia. Sehingga dapat dipahami bahwa pendidikan pembebasan itu secara eksplisit adalah usaha sadar yang dilakukan manusia dalam mendidik manusia menjadi individu yang sadar terhadap sekelilingnya, yang memunculkan sikap merdeka dan mampu berkontribusi dalam tatanan kemasyarakatan.
Adapun didalam Islam, dikenal istilah Liberation Theology (teologi pembebasan). Menurut Asghar Ali Engineer dalam bukunya, teologi pembebasan itu harus melihat 3 hal utama, yaitu:
1.      Dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
2.      Teologi ini tidak menginginkan status quo, yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin.
3.      Teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingannya dan membekalinya dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya.
4.      Teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun juga mengaku konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Sebenarnya teologi pembebasan ini mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil tawar menawar antara kebebasan manusia dan takdir, teologi pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap, daripada sebagai konsep yang berlawanan.
melihat dari apa yang diuraikan diatas, dapat di asumsi bahwa kata pembebasan yang digunakan oleh Islam, baik itu pendidikan atau teologi, atau bahkan pendidikan teologi merupakan sesuatu yang didalamnya ada hal-hal yang memang perlu dibebaskan. Maka, dalam kaitannya dengan pendidikan Islam mengenai pembebasan, haruslah ditanamkan betul sikap sadar dan maju, tentu dengan usaha memberikan fasilitas agar peserta didik mampu memahami kondisi social yang sedang terjadi dan diarahkan mampu menemukan solusi terbaik dari maslah yang bermunculan.
Lebih lanjut dalam pendidikan Islam, dengan mengadopsi dari apa yang dijelaskan oleh Paulo Freire terkait dengan kebebasan, secara umum dapat di golongkan kedalam dua kategori besar kebebasan yang dimilki manusia, yaitu kebebasan vertical dan kebebasan horizontal. Keduanya itu diambil dari penjelasan bahwa kebebasan itu sebagai berikut:
1.      Kebebasan fisik, yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja.
2.      Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (temasuk didalamnya kebebasan berbicara).
3.      Kebebasan psikologis, yaitu memilih berniat atrau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan untuk memilih.
Walaupun sebenarnya masih banyak lagi kebebasan-kebebasan lainnya seperti kebebasan berkreasi, berinovasi dan sebagainya. Dalam Islam, kebebasan-kebebasan tersebut dilaksanakan harus sesuai dengan hukum dan ketentuan ajaran Islam.
b.      Model-model Pendidikan Pembebasan Karakter
Pendidikan secara umum dilakukan dalam proses yang disesuaikan dengan model, metode atau strategi pelaksanaannya. Demikian halnya dengan pendidikan pembebasan, dengan mengadopsi model-model pendidikan yang dicetuskan oleh Paulo Freire, penulis menuliskan dua model pendidikan pembebasan. Model-model pendidikan pembebasan yang dimaksud adalah model dialog (konsientasi) dan model kritik (masifikasi). Berikut ini penjelasannya.
1.    Model Dialog (Konsientasi)
Secara kontekstual model konsientasi ini menuntut bahwa dalam pendidikan haruslah dilakukan secara sadar. Penyadaran yang dimaksud adalah bahwa pendidik harus sadar bahwa orang atau sekelompok orang yang diajarnya adalah manusia, yang memiliki segala kelebihan dan kekurangan sehingga banyaknya perbedaan. Sehingga nantinya, pendidik akan menjadi sosok yang bukan mementingkan dirinya sendiri. Sebab, secara konvensional dalam pandangan model pendidikan konsientasi ini bahwa pendidik atau gurulah yang mengetahui segalanya. Maka, harus ada konsientasi (penyadaran) dalam dunia pendidikan.
Dalam perkembangannya model dialog (konsientasi) sebenarnya merupakan model yang dibuat untuk menentang tentang model bank. Model dialog ini dicetuskan oleh Paulo Freire untuk menyatakan keberatannya tentang hal-hal yang ada dalam model bank. Adapun pendidikan model bank tersebut yaitu:
a.       Guru mengetahui segala sesuatu, peserta didik tidak tahu apa-apa.
b.      Guru berpikir, peserta didik dipikirkan.
c.       Guru bercerita, peserta didik mendengarkan.
d.      Guru mengatur, peserta didik diatur.
e.       Guru mengajar, peserta didik belajar.
Maksud dari Paulo Freire menyatakan keberatannya mengenai model bank adalah bahwa baik itu guru ataupun peserta didik, mereka harus memahami tentang kontradiksi sosial, ekonomi, budaya dan semacamnya. Sebab, pengetahuan dan kesadaran tentang sosial, ekonomi, politik, budaya dan semacamnya itu penting dimiliki untuk memecahkan setiap masalah dalam realitas sosial yang ada. Sehingga pendidikan itu bukan hanya untuk kepentingan guru atau sekolah melainkan juga siswa dan pada umumnya untuk kebutuhan bersama dalam rangka membangun peradaban manusia yang lebih baik.
Dalam kaitannya dengan pembebasan, maka dengan demikian akan terlihat bahwa peserta didik menjadi individu yang merdeka dengan segala kreatifitas yang dimilikinya. Sehingga pendidikan tidak akan monoton dan akan senantiasa mengalami perubahan yang lebih baik.
2.    Model Kritik (Masifikasi)
Model kritik (masifikasi) apabila dilihat lebih mendalam akan diketahui bahwa model ini merupakan kelanjutan dari sikap konsient yang dijelaskan di atas. Sebab, dengan sadar dan paham mengenai persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat ataupun bangsa saja tidak akan cukup tanpa disertai dengan sikap kritis yang baik. Sikap kritis yang dimaksud adalah perhatian yang mendalam akan perubahan disebabkan karena terdapat kejanggalan atau sesuatu yang perlu diperbaiki.
Penanaman sikap kritis intinya adalah untuk membantu agar dalam setiap kondisi yang ada dapat dicermati oleh manusia untuk dilakukan perubahan yang dibutuhkan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, akan memiliki dampak positif apabila mengadopsi pendidikan kritis semacam ini. Sebab, dalam dunia pendidikan Islam banyak sekali persoalan-persoalan yang menjadi wacana pembahasan penting bagi kaum muslimin, dikarenakan bermunculannya kasus-kasus terbaru yang dianggap asing oleh Islam. Walaupun memang sebenarnya bukan Islamnya, melainkan pemeluknya. Sehingga memerlukan satu daya pemikiran bebas, namun tetap dalam jalur nash.
2.4  Pendidikan Islam Berbasis Pembebasan Karakter menurut Teori Paulo Freire dan pemikirannya
a.      Biografi singkat Paulo Freire
Paulo Freire adalah salah satu pemikir penting dan berpengaruh mengenai teori pendidikan pembebasan abad ke-20. Fokusnya pada peran pendidikan dalam perjuangan kaum tertindas dicirikan dalam meramu dan mengawinkan konsep-konsep pendidikan yang sangat praktis untuk dikerjakan dalam rangka menuntaskan kebodohan di Brazil. Dengan komitmen politik dan pandangan radikalnya yang bersatu dalam kesederhanaan hidupnya, intelektual yang sangat mengesankan, menjadikan seorang Paulo Freire tetap konsisten dalam memperjuangkan hak-hak pendidikan masyarakat tertindas.
Paulo Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di timur laut Brazil. Terlahir dari kalangan keluarga yang demokratis, menghargai dialog yang kelak mempengaruhi juga pola pemikiran Freire. Kehidupan orang tua Freire tergolong kelas menengah, namun sering kekurangan finansial sehingga Freire benar-benar tahu arti kata lapar. Ketika kanak-kanak, Freire bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk melawan kelaparan, membela kaum miskin. Anak-anak lain tidak boleh merasakan penderitaan seperti yang pernah dialaminya. Meskipun tidak berasal dari kalangan keluarga yang berpunya, Freire berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Hukum, Universitas Recife.
Awal tahun 1960-an, Bazil mengalami masa-masa sulit. Gerakan reformasi baik dari kalangan sosialis, komunis, pelajar, buruh, maupun militan kristen, semuanya mendesakkan tujuan sosial politik mereka masing-masing. Dalam suasana seperti itu, Freire kemudian menjabat sebagai Direktur Departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife. Ia mendapatkan kesempatan untuk menerapkan secara luas teori-teorinya dengan program pemberantasan buta huruf kepada ribuah buruh dan petani miskin.
Pada tahun 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan menyebabkan Freire dipenjarakan atas tuduhan menjadi pengkhianat. Dalam penjara, Freire menulis karyanya yang pertama, Educacao como Practica da Liberdade, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan. Buku ini merupakan analisis kegagalan Freire dalam melakukan perubahan di Brazil, dan diselesaikannya di Cile karena di buang ke sana. Ketika berada di Cile, Freire menjadi seorang kritikus pendidikan tradisional. Menurutnya, melakukan modernisasi tanpa melakukan emansipasi adalah sebuah kekalahan besar. Salah satu tema generatif yang muncul adalah “Semua perkembangan adalah modernisasi, tetapi tidak semua modernisasi adalah perkembangan”. Freire juga bekerja selama lima tahun pada program pendidikan untuk orang dewasa dari Pemerintahan Cile. Hal ini menarik perhatian internasional untuk mengenal Cile sebagai salah satu dari lima negara di dunia yang berhasil dalam mengatasi buta huruf.
Pekerjaan Freire membawanya kontak dengan budaya baru yang mengubah pemikirannya secara signifikan. Atas undangan Harvard University, dia meninggalkan Amerika Latin menuju Amerika Serikat dan mengajar sebagai profesor tamu. Pada masa itu merupakah periode penuh kekerasan di Amerika Serikat. Dalam situasi seperti itu, Freire menemukan bahwa tekanan dan penindasan terhadap kehidupan ekonomi dan politik dunia ketiga berlangsung tak terbatas. Dia memperluas definisinya tentang dunia ketiga dari masalah geografis ke konsep politis. Selama periode itulah, Freire menulis karyanya yang paling terkenal, Pedagogy of the Oppressed, Pendidikan Kaum Tertindas.[4]
b.      Pokok-Pokok pikiran Paulo Freire
Salah satu jalan untuk memahami pokok-pokok pikiran Paulo Freire adalah dengan memahami beberapa istilah dalam pendidikan pembebasannya antara lain: pertama, pendidikan gaya bank dan pendidikan hadap–masalah, sebagai potret realitas pendidikan yang ada; kedua, dialog sebagai sebuah metodologi dalam pendidikan pembebasan; ketiga, konsientisasi atau penyadaran, merupakan inti dari pendidikan pembebasan dan prasyarat dari proses tercapainya humanisasi; dan yang keempat, humanisasi merupakan tujuan dari pendidikan pembebasan. Kita coba urai satu-satu persatu pokok-pokok pikiran Paulo Freire, sebagai berikut;
1.      Pendidikan Gaya Bank dan Pendidikan Hadap-Masalah sebagai Realitas Freire dalam menggambarkan konsep pendidikan pembebasannya dengan sebuah analogi yaitu pendidikan hadap-masalah. Untuk memperjelas posisi pendidikan pembebasan, tentunya perlu diketahui dulu pendidikan yang bukan pembebasan. Dalam hal ini, Freire menganalogikan dengan istilah pendidikan gaya bank. Dua konsep pendidikan tersebut menggambarkan realitas pendidikan yang ada sekarang.
Pendidikan gaya bank adalah sebuah sistem pendidikan yang memposisikan guru sebagai subjek, yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid. Ini mengasumsikan bahwa guru mengetahui semua hal sedangkan murid tidak mengetahui sesuatu apapun. Murid adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu, murid semata–mata merupakan obyek. Murid–murid banyak mencatat, menghafal, tanpa mengerti dengan baik maksud dari bahan yang diberikan oleh guru. Realitas semacam ini termasuk dalam kategori penindasan. Di mana guru sebagai penindasnya dan murid sebagai orang yang tertindas. Pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda yang gampang diatur, seperti robot yang bisa diprogram, atau bahkan seperti hewan yang bisa dijinakan. Ada dikotomi hubungan antara manusia dengan dunia. Manusia semata-mata hanya ada di dalam dunia; manusia adalah penonton. Guru menganggap murid adalah sesuatu yang bisa dijinakan dan bisa diatur.
Berbeda dengan konsep pendidikan gaya bank, pendidikan hadap–masalah sebagai praktik pembebasan menolak anggapan bahwa manusia adalah sesuatu yang berdiri sendiri, dan tidak terikat pada dunia, dan juga menolak anggapan bahwa dunia ‘mengada’ sebagai realitas yang terpisah dari manusia. Pendidikan hadap-masalah menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam proses ‘menjadi’ sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai, makhluk yang tidak pernah sempurna dalam dan dengan realitas yang juga tidak pernah selesai. Dalam pendidikan hadap-masalah, manusia mengembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis cara mereka mengada dalam dunia dengan mana dan dalam mana mereka menemukan diri sendiri, mereka akan memandang dunia bukan sebagai realitas yang statis, tetapi sebagai realitas yang berada dalam proses, dalam gerak perubahan.
2.      Dialog sebagai Metode Dialog dalam definisi Freire, hakikatnya adalah kata yang tersusun dari dua dimensi yaitu pikiran/refleksi dan tindakan/aksi, di mana keduanya tidak bisa terpisahkan. Bila salah satu dimensi dihilangkan akan menjadi tidak bermakna. Sebuah kata yang kehilangan dimensi tindakannya, kata tersebut berubah menjadi omong kosong. Dia menjadi kata kosong yang tidak mampu memberitakan dunia karena pemberitaan tidak munking tanpa keterlibatan untuk mengubah, dan tidak ada perubahan tanpa tindakan. Kata tersebut hanya sekedar verbalisme saja. Jika sebuah kata kehilangan dimensi refleksinya, maka kata itu berubah menjadi aktivisme. Sebuah tindakan bagi tindakan itu sendiri tanpa mampu untuk dimaknai dalam konteks perubahan.
Dialog adalah unsur yang sangat penting dalam pendidikan pembebasan untuk menganalisa serta merupakan hakekat mendasar untuk mentransformasikan dunia melalui kata-kata. Dalam dialog ini ada hubungan antara sesama manusia dan dengan dunia untuk memberikan nama kepada dunia serta menampilkan diri sebagai manusia. Dialog mempersatukan refleksi dan aksi serta menampilkan karya mencipta. Hal ini didominasi oleh orang-orang yang terlibat langsung demi pembebasan manusia. Dialog tidak dapat berlangsung tanpa adanya rasa cinta yang mendalam terhadap dunia dan terhadap sesama manusia; tanpa adanya kerendahan hati; tanpa adanya harapan; dan tanpa melibatkan pemikiran kritis. Kondisi semacam itu hanya hanya dimungkinkan dalam situasi anti–dialog. Anti–dialog adalah suatu situasi di mana relasi antara guru dan murid, kalau digambarkan dengan garis imajiner, vertikal. Sebuah relasi yang tidak setara, salah satu lebih dominan dari yang lain. Sehingga tetap perubahan dalam konteks pembebasan tidak bakal terjadi, yang ada hanyalah pelanggenan atas penindasan.
3.      Konsientisasi atau Penyadaran Sebagai Inti Proses Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga tahapan yaitu: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Secara sederhana diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kesadaran magis, yakni suatu kesadaran di mana masyarakat tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya, tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan.
Kedua, kesadaran naïf, yakni suatu kesadaran di mana masyarakat menganggap bahwa problem yang terjadi disebabkan oleh dirinya sendiri. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena salah masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewirausahaan, atau tidak memiliki budaya membangun, dan seterusnya.
Ketiga, kesadaran kritis, yakni kesadaran di mana masyarakat mampu memahami persoalan yang dihadapi dan lebih melihat melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Ketika seseorang benar-benar telah sadar dan menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya, pembebasan dan pemanusiaan manusia dapat dilaksanakan dalam artian yang sesungguhnya. Seseorang yang tidak menyadari realitas dirinya dan dunia sekitarnya, tidak akan pernah mampu mengenali apa yang sesungguhnya ia butuhkan, tidak akan pernah bisa mengungkapkan apa yang sesungguhnya ia ingin lakukan, tidak akan pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya yang ingin ia capai. Jadi mustahil memahamkan pada seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakekatnya memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaannya dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin baginya. Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang dialogis, maka konsep pendidikan pembebasan Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari rasa takut akan kebebasan. Dengan menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan pembebasan Freire secara langsung dan gamblang tiba pada pengakuan akan pentingnya peran proses penyadaran.
4.      Humanisasi sebagai Tujuan Freire menempatkan humanisasi sebagai tujuan akhir yang tiada henti dalam proses pembebasan. Humanisasi adalah satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, namun ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidaklah mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya.
Humanisasi merupakan tujuan dari pendidikan pembebasan dengan konsientisasi atau penyadaran atas realitas sebagai prasyarat melalui dialog sebagai sebuah metodologi. Humanisasi, karenanya adalah juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dan situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum tertindas harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas mereka dari perkecualian, maka kemerdekaan dan kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai secara penuh dan bermakna.
2.5  Pendidikan Islam sebagai Paradigma Pendidikan Berbasis Pembebasan Karakter
Berdasarkan cermin Freire sebagaimana diuraikan diatas, penulis mencoba menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk manusia. Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Ali Engineer  menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.
Islam sendiri adalah agama pembebasan karena "Islam memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas". Ayat-ayat Al Qur'an misalnya, diantaranya "...Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. Al-Qashash ayat 5), hal ini semakin menegaskan bahwa asal usul diturunkannya Islam (dan juga rasul-rasul) adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan dan ketidaksadaran.
Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahya, telah melakukan sebuah gerakan pembebasan yang cukup revolusioner. Nabi Muhammad bukan saja melakukan pembebabasan terhadap kaum perempuan yang selama berabad-abad telah tertidas oleh budaya Arab yang memarginalkan peran perempuan dalam berbagai sector publik, tetapi juga mewajibkan (faridhat) kepada setiap Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah, umat Islam diharapkan mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam pandangan Asghar Ali Engineer, ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan dengan nur (cahaya), artinya dengan ilmu pengetahuan manusia mampu terbebas dari kegelapan menuju cahaya keselamatan.
Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus bisa terukur kebenarannya.
Oleh karena, ilmu dalam Islam adalah sebagai kesadaran tentang realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah alam semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal  untuk mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang  metarealitas, yakni   suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati.
Kesadaran inilah yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan di alam semesta. Sebuah kesadaran yang akan menghantarkan manusia pada posisinya sebagai abd (hamba) sekaligus sebagai khalifah (wakil Tuhan) di alam semesta ini.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Makna penting yang dapat dipetik dari konsep pendidikan Paulo Freire adalah bahwa tidak boleh ada dikotomi di antara tujuan pendidikan dan cara pendidikan. Tujuan (transformasi yang membebaskan setiap orang agar menjadi manusia sejati), seharusnya terwujud dalam bagaimana pendidikan dilaksanakan. Tujuan pembebasan tidak terpisahkan dari jalan yang membebaskan. Selain itu, tetap ada signifikansi dalam teori pendidikan Freire bahwa tugas pendidikan tidak saja memunculkan pengertian tentang dunia, tetapi juga tranformasi dunia. Tranformasi dunia melalui pendidikan harus termasuk tranformasi pendidikan sendiri.
Begitu juga dalam pendidikan Islam, Berdasarkan cermin Freire sebagaimana diuraikan diatas, penulis mencoba menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk manusia. Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Ali Engineer  menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter. Bagaimana di Indonesia?



DAFTAR PUSTAKA

Ridla, Muhammad Jawwad. Al-Fikr Al-Tarbawiyy Al-Islamiyyu Muqaddimat fi Ushulih Al-Ijtima’iyyati wa Al-‘Aqlaniyyat. Diterjemahkan oleh: Mahmud Arif, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.
Rohman, Arif. Membebaskan Pendidikan (Refleksi Menuju Penyelenggaraan Demokrasi Pendidikandi Indonesia, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.
PMII Makhdum Ibrahim, Modul Pelatihan Kader Dasar (PKD) ke-XV PK PMII Makhum Ibrahim Tuban. Tuban: 2017.
http://orthopedagog-abk.blogspot.co.id/2014/11/review-buku-pendidikan-kaum-tertindas.html





[1]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 2002), Hal. 276
[2]Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002. Hal:200
[3] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002. Hal:202.
[4] http://mariatulkiftiah.blogspot.co.id/2011/06/paulo-freire-dan-pemikirannya.html

Catatan Seorang Mahasiswa Veteran

Catatan Seorang Mahasiswa Veteran Untuk memahami dunia dengan cara berbeda, kita harus bersedia untuk mengubah sistem keyakinan kita, m...