BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Teori
pendidikan Islam secara komprehensif dan saling melengkapi dari kalangan ahli
pendidikan muslim tidak akan dapat ditemukan. Secara “Induktif”, hanya
ditemukan teori-teori yang mirip yang tersebar dalam ragam karya tulis dan
risalah para ahli. Banyak faktor penyebab tidak adanya teori pendidikan secara
komprehensif. Salah satunya adalah terjadinya polarisasi pemikiran pendidikan
antara bersifat rasionalis-filosofis dengan yang bersifat agamis-murni. Bila
dicermati risalah-risalah pendidikan yang ditulis oleh Al-Ghozali, Al-Qhabisi,
Ibnu Sahnun, Ibnu Jama’ah, Ibnu Hajar Al-Haitami dan Nashiruddin At-Thusi, maka
akan tampak oreintasi murni keagamaan dalam pendidikan mereka. Dari sini
pendidikan bagi mereka mengandung pengertian ta’dib (moralisasi).
Sebagian besar
risalah-risalah pendidikan Islam diorientasikan untuk penuntut ilmu/subjek
didik tingkat lanjut. Namun demikian, adanya kegagalan dalam membangun teori
pendidikan yang komprehensif, mengacu pada gagasan Plato di Republics
misalnya, tidak sepantasnya membawa kita berharap terlalu banyak pada
tokoh-tokoh pemikiran pendidikan Islam sebagaimana harapan pada diri kita
sendiri secara analitik-ilmiah dalam pemikiran pendidikan. Sebab bila demikian
sama halnya dengan menjatuhkan beban berlebihan di atas pundak mereka.
Kewajiban kita adalah melihat pemikiran pendidikan mereka dengan perspektif
masa mereka hidup dan mengeksplorasi intelektualnya hingga mengahsilkan buah
pemikiran sebaik mungkin.
Dengan demikian
kita akan mampu memetik serangkaian prinsip-prinsip utama pendidikan yang
tersebar dalam beberapa risalah dan karya tulis mereka, lalu menatanya dalam
konstruksi yang utuh sehingga membentuk teori pendidikan yang komprehensif.
Dari sinilah,
kami mencoba membuat sebuah terobosan baru mengenai konsep pendidikan Islam
yang modern dan inovatif yang mengambil dari pemikiran Paulo Freire. Dalam isi
konsep pendidikan ini, peserta didik di harapkan mampu mengembangkan potensi
yang dimilikinya serta sesuai dengan karakter peserta didik, sehingga dalam
pembentukan karakter ini dapat menghasilkan peserta didik yang kompeten dan
mampu mengembangkan dirinya dan siap untuk menghadapi berkembangnya zaman yang
semakin maju dan nantinya mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap
agama, bangsa dan negara.
1.2
Rumusan masalah
1.
Seperti apakah
problematika pendidikan Islam?
2.
Bagaimana
konsep pengajaran/pembelajaran menurut para ahli?
3.
Apa hakikat dan
model-model pendidikan pembebasan karakter?
4.
Seperti apakah
pendidikan Islam berbasis pembebasan karakter menurut Paulo Freire dan pemikirannya?
5.
Bagaimana
Pendidikan Islam sebagai paradigma pendidikan pembebasan karakter?
1.3
Tujuan Pembahasan
1.
Agar mahasiswa
mengetahui problematika pendidikan Islam.
2.
Agar dapat
mengetahui konsep dari pengajaran/pembelajaran menurut para ahli.
3.
Agar mengetahui
hakikat dan model-model pendidikan berbasis pembebasan karakter.
4.
Agar mahasiswa
dapat memvisualisasikan bentuk pendidikan Islam berbasis pembebasan karakter
menurut teori Paulo Freire beserta pemikirannya.
5.
Agar dapat
mengetahui pendidikan Islam sebagai paradigma pendidikan berbasis karakter.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Problematika
Pendidikan Islam
Dalam menangani berbagai pembelajaran khususnya dalam pendidikan Islam, yang
membutuhkan banyak inovasi-inovasi modern untuk menunjang pembelajaran agar lebih
menarik dan dapat menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pengajaran
yang tidak membosankan. Konsep inovasi modern tercipta melalui banyaknya
problematika yang terjadi dipembelajaran pada peserta didik saat ini.
Istilah problema/
problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang
artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema
berarti hal yang belum dapat dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan.[1] Sedangkan
yang lain menyatakan bahwa problematika-problematika merupakan suatu
kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika adalah berbagai
persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga terjadi kesenjangan antara
harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, baik yang datang
dari individu guru maupun dalam upaya pemberdayaan masyarakat Islami secara
langsung dalam masyarakat.
2.2
Konsep
Pengajaran/Pembelajaran menurut Para Ahli
Para
ahli pendidikan Muslim menyadari sepenuhnya bahwa suatu pengajaran/pembelajaran
merupakan hal yang sangat unik dan kompleks, sebagaimana profesi-profesi lain,
yang menuntut dimilikinya persyaratan-persyaratan tertentu oleh orang yang
menekuninya. Ibnu Khaldun berkata “Sesungguhnya pengajaran itu merupakan
profesi yang membutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan kecermatan, karena ia
sama halnya dengan pelatihan kecakapan yang memerlukan kiat, strategi dan
ketelatenan, sehingga menjadi cakap dan profesional”.[2]
Kecenderungan
pendidik memahami kenyataan yang sebenarnya dari proses pengajaran, mengarahkan
pada perenungan tentang peran bahasa dalam proses ini dan menyadarkan pendidik
akan arti penting bahasa sebagai instrumen utama pendidikan, karena bahasa
mentransmisikan kata-kata yang mengandung arti ke rasio subjek didik yang
terkadang menyusahkan proses belajar. Ibnu Khaldun menganggap bahasa sama
halnya dengan tirai yang menutupi realitas kebenaran dari rasio dan menuntut
subjek didik agar serius berusaha melampaui ide-ide pemikiran sebelum tekun
konsentrasi belajar. Ibnu Khaldun mengingatkan para subjek didik dan guru
terhadap empat hal yang mencirikan kata-kata, yaitu:[3]
1.
Relasi
makna antara bahasa tulis dengan bahasa lisan/ucap.
2.
Relasi
makna antara bahasa ucap dengan arti yang di kehendaki.
3.
Tata
aturan dalam susunan makna untuk bisa menunjukkan maksud tertentu berangkat
dari struktur baku sebagaimana pada tata logika.
4.
Makna-makna
substantif yang dihasilkan dari relasi dalam struktur bahasa.
Secara
umum patut kita cermati bahwasannya pergumulan intens dengan profesi
pengajaran, telah mengantarkan para pemikir muslim pada penolakan warisan
sebagai prinsip dasar pembelajaran. Ibnu Miskawih mengatakan “Akhlak manusia
sama sekali bukan hal alamiah, dan juga bukan tidak alamiah, namun ia bisa
dibentuk dengan ta’dib (moralisasi), baik cepat atau lambat. Inilah pendapat
yang saya anggap benar, karena sudah saya buktikan secara empiris”.
2.3
Hakikat
dan Model-Model Pendidikan Islam Berbasis Pembebasan Karakter
a.
Hakikat
Pendidikan
Dalam
pembahasan mengenai pendidikan pembebasan, ada dua titik focus utama, yaitu
pendidikan pembebasan dalam konteks umum (barat) dan pendidikan pembebasan
dalam konteks khusus (timur). Terdapat dua kata utama dalam pendidikan
pembebasan yaitu kata pendidikan dan pembebasan .dalam UU RI Nomor 20 tahun
2003 tentang system pendidikan nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kukuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan dan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa,dan Negara. Dengan kata lain pendidikan haruslah dilakukan
secara sadar. Sebab dengan kesadaranya manusia dapat belajar dan melakukan
perubahan secara optrimal.
Sedangkan
pembebasan itu sendiri menurut Paulo freire berarti ketidak paksaan. Maka,
dengan ungkapan lain pembebasan itu berasal dari kata dasar “bebas”, yang
berarti adalah merdeka. Artinya tidak terbelenggu dalam kegelapan atau
kemunduran yang menimpa suatu individu yang dalam hal ini adalah manusia.
Sehingga dapat dipahami bahwa pendidikan pembebasan itu secara eksplisit adalah
usaha sadar yang dilakukan manusia dalam mendidik manusia menjadi individu yang
sadar terhadap sekelilingnya, yang memunculkan sikap merdeka dan mampu
berkontribusi dalam tatanan kemasyarakatan.
Adapun didalam
Islam, dikenal istilah Liberation Theology (teologi pembebasan). Menurut Asghar
Ali Engineer dalam bukunya, teologi pembebasan itu harus melihat 3 hal utama,
yaitu:
1.
Dimulai dengan
melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
2.
Teologi ini
tidak menginginkan status quo, yang melindungi golongan kaya yang berhadapan
dengan golongan miskin.
3.
Teologi
pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut
hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingannya dan membekalinya dengan
senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya.
4.
Teologi
pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam
rentang sejarah umat Islam, namun juga mengaku konsep bahwa manusia itu bebas menentukan
nasibnya sendiri. Sebenarnya teologi pembebasan ini mendorong pengembangan
praksis Islam sebagai hasil tawar menawar antara kebebasan manusia dan takdir,
teologi pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap, daripada
sebagai konsep yang berlawanan.
melihat dari
apa yang diuraikan diatas, dapat di asumsi bahwa kata pembebasan yang digunakan
oleh Islam, baik itu pendidikan atau teologi, atau bahkan pendidikan teologi
merupakan sesuatu yang didalamnya ada hal-hal yang memang perlu dibebaskan.
Maka, dalam kaitannya dengan pendidikan Islam mengenai pembebasan, haruslah
ditanamkan betul sikap sadar dan maju, tentu dengan usaha memberikan fasilitas
agar peserta didik mampu memahami kondisi social yang sedang terjadi dan
diarahkan mampu menemukan solusi terbaik dari maslah yang bermunculan.
Lebih lanjut
dalam pendidikan Islam, dengan mengadopsi dari apa yang dijelaskan oleh Paulo
Freire terkait dengan kebebasan, secara umum dapat di golongkan kedalam dua
kategori besar kebebasan yang dimilki manusia, yaitu kebebasan vertical dan
kebebasan horizontal. Keduanya itu diambil dari penjelasan bahwa kebebasan itu
sebagai berikut:
1.
Kebebasan
fisik, yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja.
2.
Kebebasan moral
yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (temasuk didalamnya
kebebasan berbicara).
3.
Kebebasan
psikologis, yaitu memilih berniat atrau tidak, sehingga kebebasan ini sering
disebut sebagai kebebasan untuk memilih.
Walaupun
sebenarnya masih banyak lagi kebebasan-kebebasan lainnya seperti kebebasan
berkreasi, berinovasi dan sebagainya. Dalam Islam, kebebasan-kebebasan tersebut
dilaksanakan harus sesuai dengan hukum dan ketentuan ajaran Islam.
b.
Model-model
Pendidikan Pembebasan Karakter
Pendidikan secara umum dilakukan dalam proses
yang disesuaikan dengan model, metode atau strategi pelaksanaannya. Demikian
halnya dengan pendidikan pembebasan, dengan mengadopsi model-model pendidikan
yang dicetuskan oleh Paulo Freire, penulis menuliskan dua model pendidikan
pembebasan. Model-model pendidikan pembebasan yang dimaksud adalah model dialog
(konsientasi) dan model kritik (masifikasi). Berikut ini
penjelasannya.
1.
Model Dialog (Konsientasi)
Secara kontekstual model konsientasi ini
menuntut bahwa dalam pendidikan haruslah dilakukan secara sadar. Penyadaran
yang dimaksud adalah bahwa pendidik harus sadar bahwa orang atau sekelompok
orang yang diajarnya adalah manusia, yang memiliki segala kelebihan dan
kekurangan sehingga banyaknya perbedaan. Sehingga nantinya, pendidik akan
menjadi sosok yang bukan mementingkan dirinya sendiri. Sebab, secara
konvensional dalam pandangan model pendidikan konsientasi ini bahwa
pendidik atau gurulah yang mengetahui segalanya. Maka, harus ada konsientasi
(penyadaran) dalam dunia pendidikan.
Dalam perkembangannya model dialog (konsientasi)
sebenarnya merupakan model yang dibuat untuk menentang tentang model bank.
Model dialog ini dicetuskan oleh Paulo Freire untuk menyatakan keberatannya
tentang hal-hal yang ada dalam model bank. Adapun pendidikan model bank
tersebut yaitu:
a.
Guru mengetahui segala sesuatu, peserta didik
tidak tahu apa-apa.
b.
Guru berpikir, peserta didik dipikirkan.
c.
Guru bercerita, peserta didik mendengarkan.
d.
Guru mengatur, peserta didik diatur.
e.
Guru mengajar, peserta didik belajar.
Maksud
dari Paulo Freire menyatakan keberatannya mengenai model bank adalah
bahwa baik itu guru ataupun peserta didik, mereka harus memahami tentang
kontradiksi sosial, ekonomi, budaya dan semacamnya. Sebab, pengetahuan dan
kesadaran tentang sosial, ekonomi, politik, budaya dan semacamnya itu penting
dimiliki untuk memecahkan setiap masalah dalam realitas sosial yang ada. Sehingga
pendidikan itu bukan hanya untuk kepentingan guru atau sekolah melainkan juga
siswa dan pada umumnya untuk kebutuhan bersama dalam rangka membangun peradaban
manusia yang lebih baik.
Dalam
kaitannya dengan pembebasan, maka dengan demikian akan terlihat bahwa peserta
didik menjadi individu yang merdeka dengan segala kreatifitas yang dimilikinya.
Sehingga pendidikan tidak akan monoton dan akan senantiasa mengalami perubahan
yang lebih baik.
2.
Model Kritik (Masifikasi)
Model kritik (masifikasi) apabila dilihat
lebih mendalam akan diketahui bahwa model ini merupakan kelanjutan dari sikap konsient
yang dijelaskan di atas. Sebab, dengan sadar dan paham mengenai persoalan yang
ada di tengah-tengah masyarakat ataupun bangsa saja tidak akan cukup tanpa
disertai dengan sikap kritis yang baik. Sikap kritis yang dimaksud adalah
perhatian yang mendalam akan perubahan disebabkan karena terdapat kejanggalan
atau sesuatu yang perlu diperbaiki.
Penanaman sikap kritis intinya adalah untuk
membantu agar dalam setiap kondisi yang ada dapat dicermati oleh manusia untuk
dilakukan perubahan yang dibutuhkan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, akan
memiliki dampak positif apabila mengadopsi pendidikan kritis semacam ini.
Sebab, dalam dunia pendidikan Islam banyak sekali persoalan-persoalan yang
menjadi wacana pembahasan penting bagi kaum muslimin, dikarenakan
bermunculannya kasus-kasus terbaru yang dianggap asing oleh Islam. Walaupun
memang sebenarnya bukan Islamnya, melainkan pemeluknya. Sehingga memerlukan
satu daya pemikiran bebas, namun tetap dalam jalur nash.
2.4
Pendidikan
Islam Berbasis Pembebasan Karakter menurut Teori Paulo Freire dan pemikirannya
a.
Biografi
singkat Paulo Freire
Paulo Freire adalah salah satu pemikir penting dan berpengaruh
mengenai teori pendidikan pembebasan abad ke-20. Fokusnya pada peran pendidikan
dalam perjuangan kaum tertindas dicirikan dalam meramu dan mengawinkan
konsep-konsep pendidikan yang sangat praktis untuk dikerjakan dalam rangka
menuntaskan kebodohan di Brazil. Dengan komitmen politik dan pandangan
radikalnya yang bersatu dalam kesederhanaan hidupnya, intelektual yang sangat
mengesankan, menjadikan seorang Paulo Freire tetap konsisten dalam
memperjuangkan hak-hak pendidikan masyarakat tertindas.
Paulo Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, sebuah
kota pelabuhan di timur laut Brazil. Terlahir dari kalangan keluarga yang
demokratis, menghargai dialog yang kelak mempengaruhi juga pola pemikiran
Freire. Kehidupan orang tua Freire tergolong kelas menengah, namun sering kekurangan
finansial sehingga Freire benar-benar tahu arti kata lapar. Ketika kanak-kanak,
Freire bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk melawan kelaparan, membela
kaum miskin. Anak-anak lain tidak boleh merasakan penderitaan seperti yang
pernah dialaminya. Meskipun tidak berasal dari kalangan keluarga yang berpunya,
Freire berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Hukum, Universitas
Recife.
Awal tahun 1960-an, Bazil mengalami masa-masa sulit. Gerakan
reformasi baik dari kalangan sosialis, komunis, pelajar, buruh, maupun militan
kristen, semuanya mendesakkan tujuan sosial politik mereka masing-masing. Dalam
suasana seperti itu, Freire kemudian menjabat sebagai Direktur Departemen
Perluasan Budaya dari Universitas Recife. Ia mendapatkan kesempatan untuk
menerapkan secara luas teori-teorinya dengan program pemberantasan buta huruf
kepada ribuah buruh dan petani miskin.
Pada tahun 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan
menyebabkan Freire dipenjarakan atas tuduhan menjadi pengkhianat. Dalam
penjara, Freire menulis karyanya yang pertama, Educacao como Practica da
Liberdade, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan. Buku ini merupakan analisis
kegagalan Freire dalam melakukan perubahan di Brazil, dan diselesaikannya di
Cile karena di buang ke sana. Ketika berada di Cile, Freire menjadi seorang
kritikus pendidikan tradisional. Menurutnya, melakukan modernisasi tanpa
melakukan emansipasi adalah sebuah kekalahan besar. Salah satu tema generatif
yang muncul adalah “Semua perkembangan adalah modernisasi, tetapi tidak semua
modernisasi adalah perkembangan”. Freire juga bekerja selama lima tahun pada
program pendidikan untuk orang dewasa dari Pemerintahan Cile. Hal ini menarik
perhatian internasional untuk mengenal Cile sebagai salah satu dari lima negara
di dunia yang berhasil dalam mengatasi buta huruf.
Pekerjaan Freire membawanya kontak dengan budaya baru yang mengubah
pemikirannya secara signifikan. Atas undangan Harvard University, dia
meninggalkan Amerika Latin menuju Amerika Serikat dan mengajar sebagai profesor
tamu. Pada masa itu merupakah periode penuh kekerasan di Amerika Serikat. Dalam
situasi seperti itu, Freire menemukan bahwa tekanan dan penindasan terhadap
kehidupan ekonomi dan politik dunia ketiga berlangsung tak terbatas. Dia
memperluas definisinya tentang dunia ketiga dari masalah geografis ke konsep
politis. Selama periode itulah, Freire menulis karyanya yang paling terkenal,
Pedagogy of the Oppressed, Pendidikan Kaum Tertindas.[4]
b.
Pokok-Pokok
pikiran Paulo Freire
Salah satu jalan untuk memahami pokok-pokok
pikiran Paulo Freire adalah dengan memahami beberapa istilah dalam pendidikan
pembebasannya antara lain: pertama, pendidikan gaya bank dan pendidikan
hadap–masalah, sebagai potret realitas pendidikan yang ada; kedua, dialog
sebagai sebuah metodologi dalam pendidikan pembebasan; ketiga, konsientisasi
atau penyadaran, merupakan inti dari pendidikan pembebasan dan prasyarat dari
proses tercapainya humanisasi; dan yang keempat, humanisasi merupakan tujuan
dari pendidikan pembebasan. Kita coba urai satu-satu persatu pokok-pokok
pikiran Paulo Freire, sebagai berikut;
1.
Pendidikan Gaya Bank dan Pendidikan
Hadap-Masalah sebagai Realitas Freire dalam menggambarkan konsep pendidikan
pembebasannya dengan sebuah analogi yaitu pendidikan hadap-masalah. Untuk
memperjelas posisi pendidikan pembebasan, tentunya perlu diketahui dulu
pendidikan yang bukan pembebasan. Dalam hal ini, Freire menganalogikan dengan
istilah pendidikan gaya bank. Dua konsep pendidikan tersebut menggambarkan
realitas pendidikan yang ada sekarang.
Pendidikan
gaya bank adalah sebuah sistem pendidikan yang memposisikan guru sebagai
subjek, yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid. Ini mengasumsikan
bahwa guru mengetahui semua hal sedangkan murid tidak mengetahui sesuatu apapun.
Murid adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu,
murid semata–mata merupakan obyek. Murid–murid banyak mencatat, menghafal,
tanpa mengerti dengan baik maksud dari bahan yang diberikan oleh guru. Realitas
semacam ini termasuk dalam kategori penindasan. Di mana guru sebagai
penindasnya dan murid sebagai orang yang tertindas. Pendidikan gaya bank
memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda yang
gampang diatur, seperti robot yang bisa diprogram, atau bahkan seperti hewan
yang bisa dijinakan. Ada dikotomi hubungan antara manusia dengan dunia. Manusia
semata-mata hanya ada di dalam dunia; manusia adalah penonton. Guru menganggap
murid adalah sesuatu yang bisa dijinakan dan bisa diatur.
Berbeda
dengan konsep pendidikan gaya bank, pendidikan hadap–masalah sebagai praktik
pembebasan menolak anggapan bahwa manusia adalah sesuatu yang berdiri sendiri,
dan tidak terikat pada dunia, dan juga menolak anggapan bahwa dunia ‘mengada’
sebagai realitas yang terpisah dari manusia. Pendidikan hadap-masalah
menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam proses ‘menjadi’ sebagai
sesuatu yang tidak pernah selesai, makhluk yang tidak pernah sempurna dalam dan
dengan realitas yang juga tidak pernah selesai. Dalam pendidikan hadap-masalah,
manusia mengembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis cara mereka
mengada dalam dunia dengan mana dan dalam mana mereka menemukan diri sendiri,
mereka akan memandang dunia bukan sebagai realitas yang statis, tetapi sebagai realitas
yang berada dalam proses, dalam gerak perubahan.
2.
Dialog sebagai Metode Dialog dalam definisi
Freire, hakikatnya adalah kata yang tersusun dari dua dimensi yaitu
pikiran/refleksi dan tindakan/aksi, di mana keduanya tidak bisa terpisahkan.
Bila salah satu dimensi dihilangkan akan menjadi tidak bermakna. Sebuah kata
yang kehilangan dimensi tindakannya, kata tersebut berubah menjadi omong
kosong. Dia menjadi kata kosong yang tidak mampu memberitakan dunia karena
pemberitaan tidak munking tanpa keterlibatan untuk mengubah, dan tidak ada
perubahan tanpa tindakan. Kata tersebut hanya sekedar verbalisme saja. Jika
sebuah kata kehilangan dimensi refleksinya, maka kata itu berubah menjadi
aktivisme. Sebuah tindakan bagi tindakan itu sendiri tanpa mampu untuk dimaknai
dalam konteks perubahan.
Dialog
adalah unsur yang sangat penting dalam pendidikan pembebasan untuk menganalisa
serta merupakan hakekat mendasar untuk mentransformasikan dunia melalui
kata-kata. Dalam dialog ini ada hubungan antara sesama manusia dan dengan dunia
untuk memberikan nama kepada dunia serta menampilkan diri sebagai manusia.
Dialog mempersatukan refleksi dan aksi serta menampilkan karya mencipta. Hal
ini didominasi oleh orang-orang yang terlibat langsung demi pembebasan manusia.
Dialog tidak dapat berlangsung tanpa adanya rasa cinta yang mendalam terhadap
dunia dan terhadap sesama manusia; tanpa adanya kerendahan hati; tanpa adanya
harapan; dan tanpa melibatkan pemikiran kritis. Kondisi semacam itu hanya hanya
dimungkinkan dalam situasi anti–dialog. Anti–dialog adalah suatu situasi di
mana relasi antara guru dan murid, kalau digambarkan dengan garis imajiner,
vertikal. Sebuah relasi yang tidak setara, salah satu lebih dominan dari yang
lain. Sehingga tetap perubahan dalam konteks pembebasan tidak bakal terjadi,
yang ada hanyalah pelanggenan atas penindasan.
3.
Konsientisasi atau Penyadaran Sebagai Inti
Proses Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi
tiga tahapan yaitu: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif
(naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Secara
sederhana diuraikan sebagai berikut:
Pertama,
kesadaran magis, yakni suatu kesadaran di mana masyarakat tidak mampu memahami
realitas sekaligus dirinya, tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor
dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat
kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis
lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai
penyebab dan ketakberdayaan.
Kedua,
kesadaran naïf, yakni suatu kesadaran di mana masyarakat menganggap bahwa
problem yang terjadi disebabkan oleh dirinya sendiri. Jadi dalam menganalisis
mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena salah masyarakat
sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewirausahaan, atau tidak
memiliki budaya membangun, dan seterusnya.
Ketiga,
kesadaran kritis, yakni kesadaran di mana masyarakat mampu memahami persoalan
yang dihadapi dan lebih melihat melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah.
Ketika
seseorang benar-benar telah sadar dan menyadari realitas dirinya sendiri dan
dunia di sekitarnya, pembebasan dan pemanusiaan manusia dapat dilaksanakan
dalam artian yang sesungguhnya. Seseorang yang tidak menyadari realitas dirinya
dan dunia sekitarnya, tidak akan pernah mampu mengenali apa yang sesungguhnya
ia butuhkan, tidak akan pernah bisa mengungkapkan apa yang sesungguhnya ia
ingin lakukan, tidak akan pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya yang
ingin ia capai. Jadi mustahil memahamkan pada seseorang bahwa ia harus mampu,
dan pada hakekatnya memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia
sekitarnya sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah
fitrah kemanusiaannya dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang
mungkin baginya. Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan
terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang
dialogis, maka konsep pendidikan pembebasan Freire dengan segera menumbuhkan
kesadaran yang menjauhkan seseorang dari rasa takut akan kebebasan. Dengan
menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan pembebasan
Freire secara langsung dan gamblang tiba pada pengakuan akan pentingnya peran
proses penyadaran.
4.
Humanisasi sebagai Tujuan Freire menempatkan
humanisasi sebagai tujuan akhir yang tiada henti dalam proses pembebasan.
Humanisasi adalah satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun
dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia
dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, namun ia
bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidaklah
mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka
menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya.
Humanisasi
merupakan tujuan dari pendidikan pembebasan dengan konsientisasi atau
penyadaran atas realitas sebagai prasyarat melalui dialog sebagai sebuah
metodologi. Humanisasi, karenanya adalah juga berarti pemerdekaan atau pembebasan
manusia dan situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum
tertindas harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari
penindasan yang tidak manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas mereka dari
perkecualian, maka kemerdekaan dan kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai
secara penuh dan bermakna.
2.5
Pendidikan
Islam sebagai Paradigma Pendidikan Berbasis Pembebasan Karakter
Berdasarkan cermin Freire sebagaimana diuraikan
diatas, penulis mencoba menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang
diturunkan Allah untuk manusia. Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh
Freire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam
menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai
gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan
dalam segala aspeknya. Ali Engineer menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka
dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai
sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya
memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material
kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi
tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.
Islam sendiri adalah agama pembebasan karena
"Islam memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar,
mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan,
mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas".
Ayat-ayat Al Qur'an misalnya, diantaranya "...Kami bermaksud memberikan
karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka
pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. Al-Qashash ayat 5), hal ini semakin
menegaskan bahwa asal usul diturunkannya Islam (dan juga rasul-rasul) adalah
untuk membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan dan ketidaksadaran.
Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahya, telah
melakukan sebuah gerakan pembebasan yang cukup revolusioner. Nabi Muhammad
bukan saja melakukan pembebabasan terhadap kaum perempuan yang selama
berabad-abad telah tertidas oleh budaya Arab yang memarginalkan peran perempuan
dalam berbagai sector publik, tetapi juga mewajibkan (faridhat)
kepada setiap Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan
inilah, umat Islam diharapkan mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam
pandangan Asghar Ali Engineer, ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan dengan nur
(cahaya), artinya dengan ilmu pengetahuan manusia mampu terbebas dari kegelapan
menuju cahaya keselamatan.
Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik
satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara utuh
dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas suatu
realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek terhadap subyek
adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal dikatakan
bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus bisa terukur
kebenarannya.
Oleh karena, ilmu dalam Islam adalah sebagai kesadaran tentang realitas,
maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah alam semesta
(mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai mendengar,
melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan
perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal untuk mengenal
realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan
sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang metarealitas, yakni
suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses
penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati
menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati.
Kesadaran inilah yang akan membebaskan manusia
dari segala bentuk penindasan di alam semesta. Sebuah kesadaran yang akan menghantarkan
manusia pada posisinya sebagai abd (hamba) sekaligus sebagai khalifah
(wakil Tuhan) di alam semesta ini.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Makna penting yang dapat dipetik dari konsep
pendidikan Paulo Freire adalah bahwa tidak boleh ada dikotomi di antara tujuan
pendidikan dan cara pendidikan. Tujuan (transformasi yang membebaskan setiap
orang agar menjadi manusia sejati), seharusnya terwujud dalam bagaimana
pendidikan dilaksanakan. Tujuan pembebasan tidak terpisahkan dari jalan yang
membebaskan. Selain itu, tetap ada signifikansi dalam teori pendidikan Freire
bahwa tugas pendidikan tidak saja memunculkan pengertian tentang dunia, tetapi
juga tranformasi dunia. Tranformasi dunia melalui pendidikan harus termasuk
tranformasi pendidikan sendiri.
Begitu
juga dalam pendidikan Islam, Berdasarkan cermin Freire sebagaimana diuraikan
diatas, penulis mencoba menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang
diturunkan Allah untuk manusia. Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh
Freire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam
menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai
gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan
dalam segala aspeknya. Ali Engineer menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka
dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai
sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya
memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material
kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi
tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter. Bagaimana di Indonesia?
DAFTAR PUSTAKA
Ridla, Muhammad Jawwad. Al-Fikr
Al-Tarbawiyy Al-Islamiyyu Muqaddimat fi Ushulih Al-Ijtima’iyyati wa
Al-‘Aqlaniyyat. Diterjemahkan oleh: Mahmud Arif, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis). Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2002.
Rohman,
Arif. Membebaskan Pendidikan (Refleksi Menuju Penyelenggaraan Demokrasi
Pendidikandi Indonesia, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.
PMII
Makhdum Ibrahim, Modul Pelatihan Kader Dasar (PKD) ke-XV PK PMII Makhum
Ibrahim Tuban. Tuban: 2017.
http://orthopedagog-abk.blogspot.co.id/2014/11/review-buku-pendidikan-kaum-tertindas.html
[2]Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran utama Teori
Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis), Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2002. Hal:200
[3] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran utama Teori
Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis), Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2002. Hal:202.
[4]
http://mariatulkiftiah.blogspot.co.id/2011/06/paulo-freire-dan-pemikirannya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar